Jumat, 18 Januari 2013

SUNAN GIRI, DINASTI PEMUKA AGAMA DARI GIRI : WALISANGA, ZIARAH PUSTAKA 6


                    
Sejarah Giri sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari Gresik; dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) karya De Graaf dan Pigeaud keduanya disebutkan sebagai kesatuan Gresik-Giri, yang menjadi pusat keagamaan penting pada abad ke-16. Meski begitu bagi pembaca Intisari, sebisa mungkin perbincangannya dipisahkan, karena konteks Gresik dalam penyebaran Islam akan dilaporkan dalam ziarah pustaka tersendiri.
Penulis & Fotografer:Seno Gumira Ajidarma

Kisah Sunan Giri dalam legenda terulang kembali bersama riwayat Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang. Bahwa bersama Sunan Bonang yang adalah putra Sunan Ngampel Denta, mereka menjadi murid Sunan Ngampel Denta tersebut sebelum mengembara sampai tanah Melaka dan berguru kepada Syekh Wali Lanang, yang ternyata adalah ayah Sunan Giri, jika mengacu Babad Tanah Djawi. Dalam Babad Gresik ayahnya adalah Ishak Maksum, dalam Babad Demak adalah Maulana Ishak. Ketidakpastian macam ini agaknya yang membuat Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) menyebutkan bahwa “historisitas tokoh ini juga masih kabur”. Meskipun begitu, legenda tentang Sunan Giri yang bernama muda Raden Paku, bahwa ketika bayi dimasukkan peti dan dilempar ke laut, sampai diselamatkan nakhoda kapal dagang milik Nyai Gede Pinatih, berhasil dimanfaatkan De Graaf dan Pigeaud dengan sangat baik.
Bayi itu dilahirkan Dewi Sekardadu, putri raja “kafir” Menak Sembuyu yang pernah disembuhkan Syekh Wali Lanang, yang kemudian jadi suaminya, dari suatu penyakit, meski raja Blambangan itu sendiri tak berhasil dibawanya masuk Islam. Itulah sebabnya ia tinggalkan Blambangan, yang lantas kejangkitan wabah penyakit, dan rakyat menuduh kandungan Dewi Sekardadu sebagai penyebabnya. Bayi itu lantas dilarung. Nyai Gede Pinatih yang memelihara bayi itu disebut sebagai janda Patih Samboja, patih Blambangan, dan tentunya janda pedagang ini Islam, karena menyekolahkan anak angkatnya ini kepada orang suci dari Ngampel Denta. Dalam versi yang dikutip Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000), Patih Samboja adalah Ki Samboja saja, abdi dalem istana Blambangan yang diusir raja, pindah ke Majapahit, dan diberi kedudukan di Gresik. Sepulang dari Melaka, Raden Paku membuka perguruan di Giri yang berarti gunung, tetapi bukan hanya Sunan Giri namanya, melainkan juga Prabu Satmata.
Kuasa Rohani, kuasa duniawi
Bagi Graaf dan Pigeaud, dongeng semacam itu mendukung berbagai penemuan lain, bahwa penyebaran Islam terhubungkan dengan pelayaran serta perdagangan di laut, khususnya dengan pedagang-pedagang mancanegara. Menurut mereka, “Apabila Samboja boleh disamakan dengan Kaboja, Cambodia, maka suami Nyai Gede Pinatih mungkin juga seorang asing dari seberang laut, seperti juga ayah kandung Raden Paku.” Dalam cerita tutur Jawa disebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih sebagai pengasuh Prabu Satmata meninggal tahun 1477; pembuatan kedaton atau istana berlangsung 1485, disusul pembuatan “kolam” tiga tahun kemudian; dan pada 1506 berpulanglah Prabu Satmata.
Adapun “kolam” diduga adalah “taman” yang memang termasuk di dalamnya adalah danau tiruan, dengan pulau kecil di tengahnya inilah taman air (taman sari) yang merupakan bagian dari kompleks istana raja Jawa. Artinya, bangunan tersebut adalah legitimasi kekuasaan duniawi, dan jika Prabu Satmata adalah juga Sunan Giri, berarti kekuasaan rohani tersatukan dengan kekuasaan duniawi. Dalam komentar Graaf dan Pigeaud, “Memiliki taman semacam ini tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri.”
Lebih jauh kedua sejarawan membahas, “Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga yang dilakukan para wali Islam di Jawa pada zaman yang sama) dapat dianggap sebagai usaha memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan para pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya.” Para pedagang ini keturunan asing, berasal dari golongan menengah, dan diduga sudah tinggal di Jawa sejak abad ke 14, baik di kota besar maupun kecil. “Dibangunnya kedaton dan dipakainya nama gelar raja (Prabu Satmata) boleh dianggap sebagai gejala telah meningkatnya kesadaran harga diri pada wali dan pemimpin kelompok keagamaan Islam yang lebih muda; lebih dari kelompok-kelompok yang lebih tua, merasa dirinya anggota masyarakat Islam internasional,” tulis Graaf dan Pigeaud, lagi.
Perhatikan bahwa konsentrasi para sejarawan ini bukanlah personifikasi Sunan Giri itu sendiri, melainkan bagaimana personifikasi Sunan Giri dalam legenda menunjukkan fenomena agama dalam sejarah Jawa. Tentang kediaman di puncak bukit misalnya disebutkan, “… dialah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan tempat berkubur di atas bukit.” Dibahas, “Tempat keramat di atas gunung tentu sudah dianggap penting dalam kehidupan keagamaan sebelum zaman Islam di Jawa Timur/Dapat diduga bahwa kelompok-kelompok ‘kafir’ yang memiliki satu atau beberapa ‘bukit keramat’ sebagai pusat keagamaannya telah memberikan perlawanan bersenjata waktu orang-orang alim Islam datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi daerah Islam. Apakah Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayatan agama bagi orang-orang Islam beriman telah didirikan sekadar mencontoh ‘gunung keramat’ di Jawa Timur? Ataukah didirikan di bekas ‘gunung keramat’?”
Personifikasi Nyai Gede Pinatih juga memungkinkan spekulasi bahwa pembangunan kedaton Giri mendapat dukungan dana komunitas dagang tersebut. Dalam bahasa Al Qurtuby yang khusus meneliti tentang peranan Tionghoa sebagai penyebar Islam, “Bahkan di Giri, back up dana Giri Kedaton adalah seorang Cina Muslimah dan saudagar kaya bernama Nyai Gede Pinatih yang sekaligus ibu angkat Sunan Giri.”
Graaf dan Pigeaud menegaskan, pemimpin agama di Giri,”… sebenarnya berasal dari kalangan pelaut dan pedagang asing, yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Cerita Jawa tentang awal mula keturunan Giri tidak memberitakan apa-apa tentang pemilikan tanah atau wilayah pertanian.” Ini juga mengukuhkan posisi Gresik dan Surabaya sebagai kota pelabuhan, tempat para pembawa agama Islam yang berdagang mendarat, dan baru dari sini menyebarkannya ke barat.
Sunan Giri yang mana?
Sunan Dalem tercatat sebagai penguasa kedua pada 1506. Dalam legenda, Prabu Satmata dan Sunan Dalem suka dicampuradukkan. Diduga, pada masa Sunan Dalem baru dimulai sikap permusuhan antara Majapahit dan Giri, menandakan mulai ditanggapinya pengislaman di kota-kota pelabuhan sebagai bahaya bagi kekuasaan Majapahit. Disebutkan dalam legenda bahwa Majapahit menuduh para pemimpin agama di Giri berusaha merebut kekuasaan duniawi di kota pelabuhan tua Gresik; dan betapa Sunan Dalem “memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi penghormatan kepada maharaja ‘kafir’ di Majapahit sebagai penguasa tertinggi, meskipun Tuban, yang sama tuanya dengan Giri-Gresik, dan waktu itu sudah Islam, melakukannya.” Menurut Graaf dan Pigeaud, “Keyakinan beragama yang teguh pada keturunan Giri ini mungkin disebabkan ia keturunan seorang cendekiawan agama.”
Cerita tentang Sunan Giri yang ikut dalam pendudukan kota tua Majapahit, yang dalam sejarah diduduki orang-orang Islam tahun 1527, beredar dari abad ke-17 atau ke-18, itu pun di Jawa Tengah. Jika “fiksi” ini mau “dicocokkan” dengan fakta, sebetulnya tidak terhubungkan dengan Sunan Giri yang Raden Paku murid Sunan Ngampel Denta, melainkan Sunan Dalem ini. Yang lebih bisa dipercaya justru cerita tutur atas konflik dengan Sengguruh (sekarang Malang), yang disebutkan pernah menduduki Giri pada 1535, sehingga Sunan Dalem menyingkir ke Gumena, sementara orang-orang “kafir” dari selatan tadi merusak antara lain kuburan Prabu Satmata.
Konon kawanan lebah kemudian keluar dari makam itu dan berhasil mengusir mereka kembali ke Sengguruh. Faktanya, pada 1535 pasukan Demak menduduki Pasuruan, padahal Sengguruh termasuk wilayah Pasuruan, membuat mereka harus melepaskan Giri dan kembali agar tak terputus hubungan dengan markas besarnya di pedalaman.
Jatuhnya Majapahit diduga membuat para ulama Giri merasa merdeka dan bebas, juga dari raja Islam yang baru di Demak. Dalam pendudukan Tuban tahun 1527 dan Surabaya tahun 1531 oleh Sultan Tranggana dari Demak, tidak terdapat berita didudukinya juga Giri-Gresik. Mengingat hubungan erat Gumena-Gresik, yang dalam catatan Tome Pires dalam Suma Oriental dikatakan selalu saling bertengkar, Graaf dan Pigeaud menyebutkan bahwa “Sunan Dalem di Giri itu pada 1535 telah mengambil keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan laskar ‘kafir’ dari Sengguruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu.” Berdirinya mesjid di Gumena pada 1539, dalam cerita tutur, adalah pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik.
Yang terkemuka: Sunan Giri Prapen
Pemimpin agama yang paling terkemuka dari Giri adalah penguasa keempat-penguasa ketiganya, putra Sunan Dalem yang diceritakan wafat tahun 1546 hanya memimpin dua tahun, lantas diberi gelar Sunan Seda-ing-Margi. Sejarawan G.P.Rouffaer dalam Encyclopaedie (1930) menduga Sunan Giri ketiga ini gugur tahun 1548 ketika ikut Sultan Tranggana dari Demak menyerbu kerajaan “kafir” di Panarukan -meski kerajaan ini sejak lama mempunyai hubungan dengan pedagang-pedagang Gresik. Nyaris tak ada fakta maupun fiksi tentang Sunan Giri ketiga ini.
Sunan Giri keempat yang menggantikannya adalah Sunan Prapen, kakaknya, yang mendapat nama itu dari tempat ia dimakamkan. Berbeda dengan adiknya, masa kekuasaannya panjang sekali, antara 1548 sampai sekitar 1605. Pelaut Belanda Olivier van Noort pada 1601 mampir di Gresik dan mendengar (bukan melihat tentu) bahwa raja tua itu berusia 120 tahun, dan seperti dikutip Graaf dan Pigeaud dari De Reis om de Wereld 1598-1601 (1926),” …istri-istrinya yang banyak itu mempertahankan hidupnya dengan menyusuinya seperti seorang bayi.” Lanjutnya usia sang raja juga tercatat dalam Berita Cina, yang mengabarkan usianya sebagai lebih dari seratus tahun. Ia meninggal tahun 1605.
Tahun 1549, setahun setelah berkuasa, ia membangun lagi kedaton, karena bangunan yang didirikan kakeknya dianggap tidak setara lagi dengan kejayaan mereka. Jatuhnya Demak sepeninggal Sultan Tranggana pada 1546 jelas mempunyai pengaruh. Perlu didirikan bangunan besar sebagai tanda kemerdekaan. Berdirinya Mesjid Kudus pada 1549 boleh diambil sebagai bandingan atas penanda sikap merdeka dari kekuasaan Demak ini. Namun meski Sunan Giri Prapen, demikian ia populer di kalangan peziarah, tercatat paling berjasa memperluas pengaruh kekuasaan duniawi dan rohani Giri, ia tidak mengganggu urusan politik penguasa-penguasa pedalaman Jawa Tengah. Bahkan di Jawa Timur pun tidak. Ia berekspansi dalam hubungan dagang melalui laut ke arah timur.
Para pelaut Gresik membawa nama Giri ke pantai-pantai kepulauan Nusantara bagian timur pada abad ke-16 dan ke-17, suatu tanda terdominasinya Gresik oleh para pemimpin agama Giri pada masa Sunan Prapen. Namanya disebut dengan jelas dalam kisah-kisah di Lombok, bagaimana ia setelah singgah di Pulau Sulat dan Sungian, mengislamkan raja “kafir” di Teluk Lombok, memasuki Tanah Sasak di barat daya, lantas melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima. Namun kisah yang berasal dari Babad Lombok ini juga menunjukkan gagalnya usaha penyebaran ekonomi dan budaya Jawa mereka di Bali Selatan, karena perlawanan Dewa Agung sang raja Gelgel, seperti dikutip oleh Roo de la Faille dalam Lombok: Studie over Lomboksch adatrecht (1928).
Bukan hanya di timur, dalam Babad Lombok juga disebut tentang murid yang belajar di Giri menjadi pemimpin agama di Makassar, meski asalnya sendiri dari Minangkabau. Nama murid itu, Dato ri Bandang, ternyata juga tersebut-sebut di Kutai, Kalimantan Timur, dalam De Kroniek van Koetai (C.A.Mees, 1935); sementara dalam penelitian S.G.Veld tahun 1882, di Pasir, Kalimantan Selatan, tersebutlah perkawinan “pangeran-pangeran dari Giri dengan putri-putri setempat”; bahkan Raja Matan dari Sukadana yang memerintah tahun 1590, seperti dicatat G.Muller tahun 1843, memakai nama Giri Kusuma, yang diduga keras sebagai bukti pengaruh Giri. Di Maluku, dalam Hikajat Hitu karya Rijali, tercatat tentang perjanjian tahun 1565 dengan “Raja Giri” yang juga disebut “Raja Bukit”, mengenai penempatan pasukan Jawa selama tiga tahun, untuk melindungi mereka dari kemungkinan adanya serangan Portugis. Raja Ternate yang memerintah antara 1486 sampai 1500 disebut pernah menjadi pejabat di Giri, dan dengan pedangnya menetak kepala seorang Jawa, yang mengamuk dan mau menyerang Sunan Giri, sampai belah dan menembus ke batu karang-dikisahkan betapa bertahun kemudian masih kelihatan bekas pedangnya di batu itu.
Antara politik dan agama
Penting untuk diketahui bahwa kekuasaan rohani Sunan Giri Prapen diakui oleh raja-raja Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Terdapat cerita yang dapat dipercaya, betapa pada 1581 upacara pelantikan Sultan Pajang yang juga sudah tua berlangsung di Giri Kedaton. Seperti dibahas secara rinci dalam karya De Graaf yang lain, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (1954), upacara yang dihadiri oleh sebagian besar penguasa Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura ini bermakna penting bagi keberadaan Sunan Giri Prapen sebagai negarawan-bahwa dalam kepemimpinan rohaninya, berlangsung ketertiban pemerintahan duniawi. Suatu kondisi yang terganggu semenjak Senapati mulai memerintah Mataram pada 1584.
Sebegitu jauh, Sunan Giri menjadi pendamai antara Surabaya yang menjadi pusat perlawanan raja-raja Jawa Timur, dan Mataram yang berekspansi ke mana-mana. Sesudah tahun 1589, Giri Kedaton menjadi tempat berlindung raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tanahnya diduduki Mataram. Sikap ini hanya bisa dilakukan justru karena tidak bermusuhan, bahkan memihak Mataram itu – toh tidak bisa dipercaya kisah ramalan Sunan Giri tentang akan berkuasanya Mataram di seluruh Jawa. Cerita itu beredar abad ke 17 dan ke-18, lebih sebagai fiksi atau “politik dongeng” para abdi dalem Mataram, karena Sunan Giri adalah sahabat para kerabat Sultan Pajang.
Tercatat tentang niatnya untuk membuat cungkup di atas makam Prabu Satmata, yang mendirikan dinasti pemimpin-pemimpin rohani di Giri. Pada tahun 1590 itu rupanya terbetik kesadaran, betapa kekuasaannya di Jawa Timur berada di atas landasan rohani teguh seorang ulama yang adalah kakeknya tersebut. Selama dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raja pedalaman Majapahit dan Mataram.
Menurut Graaf dan Pigeaud, “Keraton di Giri sungguh besar sumbangannya untuk kemajuan peradaban Islam di Pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi kebudayaan ‘kafir’ pra-Islam.” Mereka juga mencatat bahwa, “Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dan mempelajari ilmu agama.”
Ketika Sultan Agung berkuasa, Panembahan Kawis Guwa dari Giri dibawa ke Mataram sebagai tawanan pada 1636. Agaknya di sanalah akhir wibawa politik Giri Kedaton, sebagai kekuasaan duniawi maupun kekuasaan rohani. Kebalikan dari Giri, tak puas dengan ekspansi kekuasaan duniawi, raja-raja Mataram juga mau jadi penguasa rohani seperti ditunjukkan oleh denah keraton mereka, bahwa Mesjid Agung dan kauman (pemukiman ulama dan pengikutnya) terintegrasi dalam sistem pemerintahan kerajaan. Perhatikan pula istilah Panembahan yang tertambahkan di depan nama Senapati.
Denys Lombard menuliskan dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), “Akhirnya Sultan Agung menguasai Giri, tempat keramat lama, dan pengikut – pengikut Sunan diusirnya./ Menarik untuk dicatat bahwa di antara pembela-pembela Giri terdapat pasukan-pasukan Cina. Keturunan Sunan Giri yang penghabisan, dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yang diusir dari tempat leluhur mereka dahulu memegang pemerintahan, konon lama mengembara dengan menyamar menjelajahi seluruh Pulau Jawa; kisah pengembaraan mereka itulah yang menjadi plot Serat Cabolang dan Serat Centini, puisi panjang yang dianggap mengungkapkan inti kearifan dan filsafat Jawa….”
Itulah akhir riwayat dinasti pemuka agama di Giri yang pengaruhnya pernah begitu besar. Tinggal para pengemis kini, menengadahkan tangan kepada para peziarah yang mendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar