Kamis, 17 Januari 2013

MASMUNDARI PELUKIS BUDAYA GRESIK


Masmundari, Pelukis Damar Kurung
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIhQnndY3uH8jUbZyJ6e7WmJLNEgoOP6SNGjv9i2AmPKGcpT2Sy-eR9iqWJWtDcx_wihdVausAPbwwe-KblRFPlIt3JiuzDTnN6e2PVv2kMDrbmk2xaFDE80fDgQLOo4f13CSTeai0nXY/s320/IMG_7163.JPG 
Memuliakan Warisan Tradisi Zaman Sunan Prapen
Masmundari, Lukisan Damar Kurung
“Apa pun istilah ‘pinter’ untuk menggolongkannya, karya-karya. Masmundari yang bersahaja ini adalah ungkapan seorang seniman yang otentik. Ia menjadi potret utuh seorang perempuan yang telah mengarungi hidupnya di dalam berbagai zaman, sampai ke usia yang sulit dipercaya untuk tetap produktif”. EflX Mulyari
  Masmundari. Tubuh renta yang telah digerogoti usia yang genap seabad, namun tak menghentikannya dalam berkarya. Ia masih melangsungkan aktivitas yang diyakininya sejak muda, sebagai penerus kreasi leluhurnya: menggambar damar kurung. Pada sosoknya, merentang usia tradisi seni berumur ratusan tahun yang nyaris punah. Lukisan damar kurung (lampion) khas Gresik yang berasal dari abad ke-16 ini, tetap diyakini dan dihidupi.
Masmundari melukis keempat sisi damar kurung dengan pelbagai kisah yang direkamnya. Memasang damar kurung selama masa puasa menjadi tradisi masyarakat di kawasan Tlogo Pojok Gresik. Kerudung lampu itu dilukis dengan indah dan dipasang orang yang punya hajatan untuk menghiasi rumah, jalan, sebagai petunjuk jalan bagi para tamu. Sebagian besar lukisannya berkisah tentang manusia dan kegiatannya: wayang, hikayat Anglingdarma, kesibukan di pesisir, ombak laut, dan pohon-pohon menjadi tema yang sering diangkat. Dari banyak tema itu orang paling ingat pada lukisan tentang perempuan terbang Imajinasi Masmundari sering terbang jauh dan tinggi yang sulit dijangkau orang seusianya.
Kekuatan akan detail sebuah peristiwa membuat lukisan Masmundari lebih hidup. Ketika melukiskan suasana hari raya Idul Fitri, misalnya, ia menggambakan runtutan peristiwa lebaran itu secara lengkap: mulai dari jamaah yang sedang sembahyang, lengkap dengan khatib berkhotbah hingga acara salam-salaman dan dilanjutkan dengan berangkat berpiknik atau ‘unjung-unjung’, silaturahim. Semua yang dipotretnya digambar secara lengkap, lengkap dengan sepeda motor dan becak. Juga menyertakan hidangan yang ditata di atas meja dan mikrofon yang dipakai sang khatib.
Melukis bagi tokoh kebanggaaan masyarakat Gresik ini, adalah kegiatan menyenangkan yang tak boleh diusik. Saat melukis, Masmundari menetapkan harga mati: tidak mau diganggu. “Mbah Masmundari, biasanya marah kalau sedang asyik masak diganggu” kata Nur Samadji, salah seorang cucunya.
Di lingkungan keluarga, kerabat dan seniman Jatim, Masmundari biasa dipanggil Mbah. Meski sudah berusia senja, Mbah Masmundari nyaris tidak bisa diam, selalu mencari kesibukan mulai dari mencuci baju hingga memasak, di samping tentu saja melukis damar kurung. Kegiatan melukis dilakukan saat ia merasa nyaman atau ada pesanan.
Yang unik dari sosok Mbah Masmundari, kekuatan fisiknya luar biasa walaupun pendengaran agak terganggu.nBila ngobrol di ruang tamu, Mbah bersuara lantang bahkan sampai terdengar ke luar rumah. Bila ingin bertanya kepada Mbah Masmundari, harus agak berteriak di dekat telinga sebelah kanan Mbah Masmundari agar bisa terdengar. Katanya dia bertekad tidak akan berhenti melukis damar kurung.
Hanya secangkir kopi yang sanggup membuatnya berpaling dari lukisannya, Mbah Masmundari yang kuat minum kopi tiga cangkir sehari dan makan sirih ini justru tidak menetapkan harga mati untuk lukisannya dia tak peduli dengan harga lukisannya. Yang jelas, Masmundari tetap melukis ketika tubuhnya sehat. Dengan membubuhkan ‘cap jempol’ sepuhnya sebagai ganti tanda tangan, lukisan terbang ke pelbagai negara. Tentu, karena diminati para turis yang kemudian dibawa pulang ke negerinya.
Warisan Giri Prapen
Damar kurung tak hanya dikenal di pesisir Gresik. Damar kurung bisa dijumpai di wilayah Semarang yang memang dikenal sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dari negeri China zaman dulu. Damar kurung yang biasa disebut ting-tingan Ramadhan ini biasa dijajakan dalam dhugdheran (pasar malam yang hanya ada sepanjang bulan Puasa) masih terselip penjual damar kurung. Biasanya berwarna merah atau putih dengan lukisan sederhana, dari luar bayangan kerbau, naga, petani, gerobak, penari, burung, becak, bahkan pesawat, tampak bergerak.
Damar kurung mengadaptasi lampion yang dipakai warga Tionghoa sebagai wujud kesempurnaan dan keberuntungan. Dulu jika ada warga yang kesripaan (ada yang kesusahan karena di antara anggota keluarga ada yang meninggal dunia) maka lampion putih dipasang berpasangan di depan rumah yang melambangkan duka cita. Biasanya lampion persegi atau oval berwarna putih ini dibubuhi kaligrafi berisi penggalan syair China kuno. Sebaliknya, lampion bulat berwarna merah menjadi symbol keberuntungan dan kesempurnaan.
Membuat damar kurung tidak mudah, terutama menyetel agar posisi sumbu yang mengeluarkan asap bisa tetap stabil. Asap yang keluar dan tertiup angin inilah yang memutar kipas kertas  dan membuat kertas-kertas minyak itu berputar. Sebagaimana lampion, damar kurung dalam upacara Ngaben di Bali pun memiliki makna. Damar kurung dipasang di depan rumah duka, yang diyakni sebagai penunjuk arah bagi perjalanan roh. Hubungan sejarah masa lalu antara Cina dan Bali memang mengingatkan bahwa damar kurung ‘berkarib’ atau varian dari lampion. Bukan hanya damar kurung, ditengarai barong yang dikenal di Bali juga beralian erat dengan tari singa barong Cina. Penyebaran singa barong Cina ini kemungkinan besar masuk ke Bali pada masa pemerintahan Dinasti Tang di Cina sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10.
Di Gresik, lampion yang di terjemahkan menjadi damar kurung sudah lekat denan tradisi sejak abad ke-16. saat itu, adalah masa aktif Sunan Prapen, sunan ketiga sesudah Sunan Giri, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur. Sampai tahun 1970-an, sebagai kerajinan, damar kurung juga dikerjakan masyarakat Jawa Tengah maupun Jawa Barat. Kebanyakan dammar kurung ini dibuat tanpa gambar, hanya beberapa bagian damar kurung saja yang memiliki gambar.
Di Jepara ada tradisi menyalakan damar kurung yang dinamakan Baratan. Tradisi ini dilaksanakan setiap pertengahan bulan Sya’ban (Jawa: bulan Ruwah). Hal ini berkait dengan legenda Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat (Retno Kencono), putri Sultan Trenggono yang juga Adipati Jepara (1549-1579). Suatu ketika tibalah sang penguasa di Desa Purwogondo (kini pusat Kecamatan Kalinyamatan). Tiba-tiba kuda yang ditungganginya lari menghilang. Kemudian bersama-sama warga, ia mencari kuda dengan bantuan lampu impes (lampion). Tradisi ini tetap dilakukan dengan membawa lampion berkelap-kelip. Ketika listrik sudah masuk desa, tradisi ini pelahan memudar.
Ke Palataran Jagat Seni Lukis
Masmundari sejak tahun 1986 tercatat sebagai satu-satunya pembuat dan pelestari kerajinan damar kurung yang masih hidup dan terus berkarya, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dan adik-adiknya, Masriatun dan Maseh, tidak melanjutkan tradisi keluarga.
Gambar pada lukisan damar kurung, memperlihatkan potret budaya masyarakat Gresik sejak ratusan tahun lampau yang bertahan sampai sekarang. Kondisi fisiknya masih cukup sehat. Bukan hanya untuk berkarya, tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah seperti mencuci. Masmundari bukan hanya sekedar melanjutkan tradisi yang dirintis oleh kedua orangtuanya Sadiman dan Martidjah, tetapi juga melakukan pembaharuan dalam proses kreativitas dan penampilan karya seni. Mengenai kemampuannya untuk melukis di atas kertas kanvas dammar kurung, Masmundari dengan bahasa Jawa mengungkapkan “Kulo marisi ndamel Damar Kurung niki saking Bapak kulo, Ki Dalang Sinom. Sanjangen Bapak, Nak, sesok nek bapak ana umure, kon ngawe ngene”. (” Saya mewarisi ketrampilan membuat damar kurung ini dari bapak saya, Ki Dalang Sinom. Bapak berpesan, besok apabila Bapak sudah meninggal, kamu harus tetap membuat Damar Kurung. Sebab keturunan kami sejak dulu membuat kerajinan tersebut)” ujamya. Ki Dalang Sinom adalah sebutan lain dari nama orangtuanya yang memang seorang dalang wayang. Masmundari mengaku tidak merasa lelah terus berproses dan beraktivitas sebagai pelukis. “Sampai sekarang saya masih melukis dan akan terns melukis sampai mati,” kata si Mbah dalam bahasa khas Gresik, suatu ketika. Meski kulitnya sudah mulai keriput, namun otot di sepanjang tangan Masmundari terlihat masih keras. “Setiap subuh, Mbah sudah bangun. Kemudian memasak air, menanak nasi, lalu mencuci pakaian. Siang hari, Mbah jarang sekali tidur, tetapi masak,” tutur Nur Samadji.
Menurut Masmundari, paman dan bibinya juga melukis damar kurung semasa hidup mereka. Bakat melukis Masmundari tampaknya juga dimiliki anak satu-satunya, Rukayah (51), ibu dari lima anak. Dari lima cucu Masmundari yang tampaknya tertarik menjadi pelukis damar kurung hanya dua orang, yaitu Nur Samadji dan Achmad Adrian. “Saudara ibu, Masriatun, Masehi, dan Indri sewaktu masih hidup juga melukis damar kurung, tetapi sekarang tinggal Mbah Masmundari,” kata Rukayah,janda dari almarhum Mas ‘ud.
Ketika menerima Penghargaan Seni tahun 2002 dari Pemerintah Provinsi Jatim ini, Masmundari menyambutnya dengan syukur. Dalam catatan saya, penghargaan yang diberikan pada Masmundari sangat wajar karena dia selama ini nyaris tidak pernah meninggalkan dunia seni rupa, khususnya lukisan damar kurung.
Penghargaan itu menjadi pembuktian atas kerja dan kreativitas dia sebagai pelukis perempuan yang mampu bertahan hingga usia lanjut. Penghargaan yang diterima Masmundari itu, di antaranya dalam bentuk uang sebesar Rp 10 juta, yang dia manfaatkan untuk memperbaiki rumah dan memenuhi kebutuhan lain. “Rumah ini kalau hujan sering bocor. Sebagian lagi dipakai membeli bahan melukis dan bayar utang,” kata Masmundari. Tidak ada penjelasan kenapa dia atau keluarganya memiliki utang, tetapi sampai sekarang keluarga Masmundari memang tinggal di sebuah gang di perkampungan penduduk yang padat, di Jalan Gubemur Suryo Gang 7 B Nomor 41B, Gresik.
Masmundari diantar anaknya Rukayah, bersama dua cucunya selama mengikuti pameran di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), dengan menyertakan 50 buah lukisan, selama seminggu, mulai 17-24 Maret 2005. Pameran bertajuk Seabad Masmundari, dibuka oleh aktris sinetron Rachel Maryam, dengan membacakan puisi Pablo Neruda, penyair Chile, yang meraih Hadiah Nobel. Lukisan-Iukisan Masmundari telah dipamerkan di pelbagai kesempatan, baik di Surabaya maupun di Jakarta. Pameran di Jakarta ini untuk keempat kalinya, setelah sebelumnya di BBJ pada tahun 1987, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada tahun 1990 serta pada Pameran Kerajinan Indonesia Dalam Interior (KIDI) IV di Balai Sidang Senayan Jakarta 1991, yang pemah mendapat perhatian khusus dari mantan Presiden RI Soeharto.
Semula kerajinan “damar kurung” dikerjakan dengan memanfaatkan kertas minyak dengan pewama dari sumbo. Kertas minyak ini melingkar dalam bingkai yang terbuat dari potongan bambu. Tetapi sejak diperkenalkan oleh pelukis modern dari Gresik, Imang A.W. (yang mula-mula memperkenalkan karya-karyanya di luar Gresik), Masmundari kemudian mempergunakan kertas kanvas dan cat minyak. Lukisannya dibingkai dengan kayu bujur sangkar. Dalam seni kerajinan damar kurung di masa lalu, gambar-gambar dilukis pada lembaran kertas terbagi dalam tiga bagian, yaitu atas, tengah dan bawah atau hanya dua bagian atas dan bawah untuk menceritakan sesuai dengan pakem. Tetapi Masmundari berani melakukan perubahan dengan tidak memakai pembagian bidang.
Kerajinan “damar kurung” dibuat untuk menghibur dan memberikan kesenangan kepada anak-anak yang tengah menanti datangnya sembahyang Tarawih pada bulan Ramadhan. Itulah sebabnya tema lukisan pada kertas Damar Kurung di masa lalu umumnya berkisah soal kegiatan orang melaksanakan sembahyang Tarawih, Tadarus, suasana Idul Fitri, halal bil halal, macapat, pasar malam, pesta khitanan, dan sebagainya. “Masmundari adalah pemuja kegembiraan hidup. Lukisan-lukisannya selalu menampakkan keriangan dan kebahagiaan,” tulis Danarto, sastrawan yang dikenal juga sebagai pelukis “Rasanya tidak ada lukisannya yang jelek. Mundari tidak melukis kesedihan, malapetaka, bahkan air mata pun tidak”. (Media Indonesia, 19 Maret 2005).
Dan memang, dari wama-wama primer yang dihadirkan begitu saja saling menyatu di kanvas atau pun di kertas. Warna merah berdampingan dengan hijau yang biasanya terbakar dan mata tak sanggup menatapnya, menjadi jinak. Warna kuning, biru, merah jambu, maupun violet, menjadikan banguna suasana ceria, meriah, cemerlang dan memikat. Selain melakukan pernbahan dalam penampilan mulai dari bahan dasar, Masmundari satu-satunya pelukis yang menekuni lukisan damar kurung ini mulai memasukkan tema-tema kekinian tanpa meninggalkan tema-tema lama yang bersifat religi. Masmundari mengangkat tema tentang kehidupan nelayan, pesta perkawinan, kehidupan etnis Madura, serta permainan tradisional anak-anak seperti menangkap ikan, menjaring burung.
Bahkan ia cukup adaptif dengan tematema pesanan pemerintah, misalnya program Keluarga Berencana. Belakangan Masmundari mengetengahkan tema-tema teknologi, seperti mesin traktor, pesawat terbang, siaran radiodan televisi lengkap dengan antena parabola. Aneka gambar yang terlukis pada lembaran kertas damar kurung mempunyai fungsi yang hampir setara dengan relief-relief dan patung-patung pada candi Budha dan Hindu yang terdapat di Pulau Jawa. Anak-anak di Gresik sebelumnya juga sempat digalakkan oleh pemerintah kabupaten setempat untuk melukis dengan gaya damar kurung hingga akhirnya cirri lukisan Masmundari identik dengan ciri khas Kota Gresik. Lampion damar kurung karya Masmundari lalu ada yang terbuat dari serat kaca dengan tulang kayu, termasuk juga gaya lukisan damar kurung yang sudah dikemas seperti lukisan umumnya. (RNG)
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Teropong, Edisi 20, Maret – April 2005, hlm. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar